Gara-gara Pesona“manoek teu pheh”

Oleh : Meina Thursia '10

Image by google


Perkembangan rumah makan dengan menu utama “manoek” di Provinsi ini semakin pesat. Diolah dalam beraneka jenis hidangan yang menggugah selera, sebut saja manoek teu pheh, manoek drop, manoek lheuh, dan sebagainya, telah menjadi andalan bagi banyak kalangan.

Para pemilik rumah makan tersebut tentunya melakukan berbagai cara untuk memperoleh laba besar dalam penjualan produknya. Lewat pasar online misalnya,
sangatlah mudah dan cepat dalam ajang promosi produk penjualan. Selebihnya, info dari mulut ke mulut juga termasuk upaya dari sosialisasi. Mereka yang telah mencoba, akan memberitahukan pada orang-orang terdekat untuk mencoba juga. Info estafet ini semakin cepat menyebar, jadi wajar banyak dari mereka akan memilih tempat dengan olahan menu tersebut untuk sekedar lunch atau dinner dengan keluarga, teman, ataupun dengan pasangan, juga saat ada ivent-ivent penting, seperti perayaan makan-makan pasca kelulusan sekolah, atau setelah yudisium, wisuda, saat gaji pertama, ulang tahun, bahkan untuk perayaan cairnya beasiswa. Hehe…

Diantara jenis olahan yang berbahan dasar “manoek”, yang sangat membawa pengaruh luas adalah yang “teu pheh”. Bentuknya yang pipih, ditambah sambal terasi pedas sebagai pelengkap, tentu menggugah selera masyarakat Aceh yang dominan suka rasa pedas.

Muliadi Kurdi dalam bukunya “Aceh di Mata Sejarawan” menjelaskan bahwa orang Aceh berkarakter keras, tidak mau didekte, tidak cepat menyerah, dan teguh dalam menghadapi masalah. Hal ini barangkali ada hubungannya dengan makanan yang mereka konsumsi dan tempat dimana mereka tinggal. Orang Aceh gemar makan makanan yang pedas-pedas, seperti kuah pliek ue, kuah beulangoeng, eungkot bacee dan lainnya yang dicampur dengan bumbu yang banyak mengandung cabe dan lada. Jika dihitung-hitung hampir semua dari masakan tradisional Aceh itu terasa pedas.

Jadi wajar jika makanan yang dikonsumsi berpengaruh terhadap karakter dari masyarakat tesebut, tapi ini bukan satu-satunya asalan mengapa produk “manoek teu pheh” tadi dipilih oleh banyak orang Aceh, melainkan karena faktor modernisasi yang berakibat pada perubahan sosial dan budaya ikut-ikutan. Kok bisa??

Faktanya, modernisasi memunculkan banyak kemudahan dan orang-orang menjadi semakin malas, dan berpola hidup konsumtif. Daripada harus masak banyak yang dianggap merepotkan dan menghabiskan banyak waktu, mereka lebih senang untuk mengajak keluarga atau kerabat ke rumah makan saat sedang merayakan moment-moment penting. Bahkan di acara resepsi pernikahan akhir-akhir ini sering dihidangkan menu makanan seperti yang telah disebut diatas yang menjadi sangat istimewa dibandingkan makanan-makanan tradisional yang harusnya tetap dicicipi oleh tiap generasi.

Kalau sudah begini ceritanya, semakin lama eksistensi masakan tradisional akan semakin pudar yang pada dasarnya mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Lalu kemana perginya asam ue teupeih, eungkot payeh, sie reuboeng, asam keumamah, dkk??

Segala bentuk perubahan kultur telah menimbulkan perubahan pada kepribadian pula. Bertolak pangkal dari dalil tersebut diatas dapatlah pula orang mendalilkan lagi bahwa kalau kita hendak merubah kepribadian suatu kelompok masyarakat maka kita harus merubah dulu kultur, yakni norma-norma masyarakat yang akan disosialisasikan. Sebaliknya kita harus “mempertahankan kepribadian asli”, kita pun harus mencegah perubahan kultur. Namun harus diakui bahwa merubah kultur itu tidak selamanya mudah. Terlebih jika bersifat drastis, maka yang terjadi adalah disorganisasi kepribadian dari bangsa itu. [J. Dwi Narwoko-Bagong Suyanto : 2004]

Wajar jika akhir-akhir ini organisasi-organisasi sosial dan instansi lainnya mengadakan salah satunya lomba masak “kuah pliek ue” di bumi seribu Sultan ini, dengan tujuan generasi Aceh tetap bisa melestarikannya agar tidak pudar oleh pesona “manoek teu pheh” yang sangat menggiurkan itu.
Tidaklah salah bagi para pemilik produksi untuk berkarir. Namun mereka yang tidak pro terhadap budaya lokal terlalu ambisius dalam memanfaatkan sesuatu yang berpeluang untuk menghasilkan banyak keuntungan. Bisa saja mereka akan setuju dengan ungkapan Aristoteles bahwa tumbuhan disiapkan untuk kepentingan binatang, dan binatang disediakan untuk kepentingan manusia.

Harusnya kita sebagai insan sosial mengutamakan paham Biosentrisme yang dalilnya bukan hanya manusia dan komunitasnya yang pantas mendapatkan pertimbangan moral, tetapi juga dunia binatang.
Jelaslah bahwa ini sebenarnya bukan salah “manoek”. Hanya saja mereka yang melebarkan sayap bisnis sudah tidak lagi pro dengan budaya lokal. Bahkan jika para “manoek” bisa bicara maka mereka akan berteriak ramai-ramai untuk menuntut hak.
“Biarkan kami hidup lebih lama”, Tuan………

0 komentar: