Masjid Sebagai Tempat ibadah, Moment atau Fatamorgana?
Oleh : Meina Tursia '10Image : saidfirman.wordpress.com |
Bagi umat Islam di seluruh penjuru, masjid merupakan bagian yang terpenting dalam kehidupan masyarakatnya. Hampir dapat dikatakan dimana ada komunitas Muslim, disitu ada masjid. Dengan demikian, masjid menjadi pangkal tempat Muslim bertolak sekaligus pelabuhan tempatnya berlabuh. Masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat melaksanakan ibadah semata, namun juga dipergunakan untuk sarana belajar, tempat berkumpul dan bertukar pengalaman, pusat kebudayaan Islam, pusat kaderisasi umat dan sebagai basis kebangkitan dan perjuangan Islam.
Dalam perjalanan sejarahnya, masjid telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik dalam segi bentuk bangunan maupun fungsi dan perannya.
Masjid mengalami puncak keemasannya pada masa kepemimpinan Rasulullah yang kemudian dilanjutkan oleh khalifah setelahnya. Sejarah mencatat tidak kurang dari 10 peranan yang telah diemban oleh masjid pada saat itu, yaitu :
1. Sebagai tempat ibadah
2. Sebagai tempat konsultasi dan komunikasi
3. Sebagai tempat pendidikan
4. Sebagai tempat santunan sosial
5. Sebagai tempat latihan militer dan persiapan alat-alatnya
6. Sebagai tempat pengobatan
7. Sebagai tempat perdamaian dan pengadilan sengketa
8. Sebagai aula dan tempat menerima tamu
9. Tempat menawan tahanan
10. Dan sebagai pusat penerangan dan pembelaan agama.
Masjid pada masa silam mampu berperan sedemikian luas dikarenakan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh pada nilai, norma dan jiwa agama. [Dr. M. Quraish Shihab, M.A].
Keadaan tersebut kian berubah ketika dibentuk lembaga-lembaga lain yang menggantikan fungsi dan peran masjid.
Di Aceh bahkan pada masa kejayaan kerajaan dibawah pimpinan Sultan Iskandar Muda hal tersebut telah sedikit terlihat. Sebagai contoh, Sultan Basry membentuk beberapa lembaga dimana tugas dan peran yang dulunya diemban masjid telah beralihfungsi pada lembaga tersebut, diantaranya : Balai Rong Sari yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan yang beranggotakan hulubalang empat dan Ulama tujuh, Balai Gading yaitu sebuah lembaga pemerintahan yang dianggotai Ulama terkemuka sejenis kabinet, Balai Majlis Mahkamah sejenis Departemen Kehakiman, Balai Furdhah sejenis Departemen Perdagangan, Balai Laksamana sejenis Departemen pertahanan, Balai Baitul Mal sejenis Departemen Keuangan. [Muliadi Kurdi : 2009]
Dalam perkembangan selanjutnya terjadi banyak perubahan yang memberikan dampak buruk bagi pencitraan masjid itu sendiri, terutama di wilayah kota Banda Aceh.
Sebut saja sebuah masjid agung yang sangat fenomenal karena memiliki lembaran sejarah tersendiri dan ketahanan bangunannya di sentral Kutaradja. Masjid ini mempunyai nilai tinggi bagi rakyat Aceh, selain berfungsi sebagai tempat shalat juga tempat mengadakan pengajian, perhelatan acara keagamaan seperti maulid Nabi Besar Muhammad Saw, peringatan 1 Muharram, Musabaqan Tilawatil Qur’an, sebagai tempat berteduh bagi warga pendatang, dan merupakan salah satu objek wisata Islami. Namun untuk waktu sekarang pesona yang sedemikian kuat itu seakan sedikit pudar karena beberapa hal. Masjid digunakan diantaranya sebagai tempat untuk pemotretan prawedding dan area berjualan makanan ringan, terlebih lagi kebanyakan pengemis menjadikan area sekitar masjid sebagai wilayahnya. Di sisi kanan dan kiri dari gerbang masjid terlihat beberapa pengemis duduk bersama dengan menadahkan tangannya ketika ada pengunjung yang melewati pintu gerbang tersebut. Mereka bahkan terlihat sempurna, tidak cacat sedikit pun, berbeda dengan sebagian lainnya yang memang punya kekurangan akan lebih memilih untuk duduk atau berdiri didekat tangga dari pintu masjid yang langsung disambut oleh jama’ah setelah shalat.
Terlepas dari hal tersebut, masjid ini juga memberikan pengaruh yang besar terutama mengenai upaya untuk menaikkan prestise bagi sebagian orang. Mereka berlomba-lomba untuk bisa mengadakan akad nikah putra putri mereka di masjid ini, dan kebanyakan dari mereka adalah kalangan atas. Hah? Mana buktinya?
Lihat saja parkiran yang penuh hingga ke badan jalan dihiasi beragam merk roda empat yang secara sadar kita akan beranggapan sulit bagi para "mugee pisang" atau "wak-wak meukat ranub" memiliki relasi yang seperti demikian. Namun ini bukanlah bukti akurat untuk menilai berasal dari kalangan mana si empunya hajatan. Yang pasti kita masih bisa melihat dari bukti lain misalkan nominal untuk pembayarannya, silakan tanya kepada relasi atau sanak saudara anda yang pernah menggelar hajatan di tempat ini. Hehe
Selain itu ada juga yang memilih untuk melakukan acara troen manoe balita-balitanya. Beberapa pengamatan yang saya lakukan, mereka tidak ragu untuk mengatakan bahwa masjid ini lebih berkah dibanding masjid lain. Sungguh sebuah pemikiran yang aneh.
Lain di masjid agung ini, lain pula di masjid wilayah Lamprit dan Darussalam yang longgar pengawasannya sehingga mudah bagi tikus-tikus masjid dalam beraksi. Keberadaan mereka menyusup ke area masjid bukan semata-mata untuk beribadah melainkan menggasak celengan masjid, dan ada yang mencuri kendaraan bermotor para jama’ah yang sedang shalat. Huft. Menyebalkan.
Berbeda dengan yang telah disebutkan diatas, di lingkungan tempat saya tinggal pun fungsi dan peran masjid terlihat makin melemah. Secara struktural, badan kepengurusan masjid ada tapi kurang berfungsi, tidak menunjukkan kemajuan dibidang kemakmuran jama’ah, hanya terlihat ramai saat shalat jum’at, Idul Fitri, Idul Adha, dan hanya ada dua shaf pria dan dua shaf wanita pada saat shalat wajib, padahal masyarakat yang berdomisili disini sangat banyak. Jika dilihat dari segi kemasyarakatannya, daerah ini tidak kekurangan Teungku, tokoh masyarakat, cendikiawan, sarjana, pemimpin-pemimpin organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan. Namun kenyataan menunjukkan bahwa mereka belum mampu menggerakkan potensi yang ada. Sebagian diantaranya lebih menonjolkan individual, profesional, persaingan dan emosional yang akhirnya kesatuan arah untuk membina masyarakat dalam memakmurkan fungsi masjid sulit dicapai. Mengutip perkataan orang tua zaman dulu, “sidroe tarek u laot, sidroe tarek u darat, pajan maju ta peukoeng agama”. Begitulah keadaannya.
Fenomena-fenomena seperti diatas terjadi karena adanya perubahan dan kita tahu perubahan bukanlah proses yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan merupakan suatu kondisi yang tidak bisa berdiri sendiri karena didalamnya ada banyak faktor baik alamiah maupun sosial. Tentu semuanya berkaitan dengan sifat dari manusia sebagai agent of change yang dinamis, selalu bergerak, berkembang dan berubah. Hal ini memperkuat perkembangan peradaban dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut. Bahkan dalam teori evolusi sosial disebutkan bahwa pada dasarnya setiap masyarakat walau secara lambat namun pasti akan selalu bergerak, berkembang dan akhirnya berubah dari situasi sosial yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks, maju dan modern. Perubahan ini bisa saja terjadi pada perubahan pemikiran, perubahan nilar dan perubahan perilaku. Ketiga hal tersebut mendorong masyarakat di wilayah manapun untuk senantiasa bergerak, apalagi jika ditambah oleh dimensi ruang dan waktu yang menjadi alasan krusial dalam setiap perubahan yang terjadi.
Namun untuk permasalahan diatas selayaknya segera mendapatkan penanganan yang lebih serius agar aktualisasi fungsi dan peran masjid sesuai dengan yang seharusnya dapat terlaksana dengan baik. Yang pasti masjid bukanlah tempat untuk mencari sensasi dan menaikkan prestise, bukan hanya moment atau fatamorgana, bukan ladang bisnis melainkan ladang amal tempat para Muslim beribadah yang harus tetap dijaga kemakmurannya.
Sabda Rasulullah Saw, “telah dijadikan untukku [dan untuk umatku] bumi sebagai masjid sebagai sarana penyucian diri”. HR. Bukhari-Muslim.
0 komentar: