Mahasiswa dan Partisipasi Politik
Oleh Ramadhan 2010
Gaung Pemilukada Aceh sudah
terdengar semakin besar. 5 hari lagi masyarakat Aceh akan menentukan siapa
pemimpinnya untuk 5 tahun kedepan. Para kandidatpun telah melemparkan sejumlah
program-program “cet langet” mereka untuk mengambil hati masyarakat Aceh di 17
kabupaten / Kota dan Provinsi demi mendapatkan kursi empuk nomor 1 di Bumi
Iskandar Muda ini. Semua mengklaim akan melakukan perubahan, namun tujuan belum
pasti menjadi pemimpin yang amanah-kah atau hanya kekuasaan semata.
Pemilukada tahun ini memang sangat
berbeda dari 5 tahun yang lalu, jika yang lalu buah perdamaian antara Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) namun tahun ini lebih berwarna karena adanya
konflik antara elit politik orang Aceh itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa
menjadi orang nomor 1 itu idaman semua orang entah itu memang kemauan dari diri sendiri, diusungkah atau memang
paksaan dari orang lain. Yang jelas harus memberikan sebuah manfaat yang besar
untuk kepentingan masyarakat, kepentingan kelompok atau kepentingan diri
sendiri.
Terlepas dari itu kita juga tidak
boleh memandang sebelah mata mahasiswa yang juga terdaftar sebagai DPT (Daftar
Pemilih Tetap) di kampungnya masing-masing. Mereka juga mempunyai hak untuk
memberikan suara mereka. Dan ini tentunya akan berbeda jika mereka mahasiswa
perantauan. Partisipasi politik mahasiswa itu sendiri sedikit berbeda yang selanjutnya
memunculkan sebuah sikap politik, aktif atau pasifkah?
Mahasiswa yang aktif itu adalah
mereka yang memang mempunyai jiwa untuk turun langsung ke dunia perpolitikan.
Mereka “tergoda” dengan pengrekrutan politik yang dilakukan oleh penguasa
politik. Beberapa teman yang saya tanyakan mengatakan bahwa mereka memang ingin mencari pengalaman
dan ingin besar pada sebuah partai selain itu alasan lainnya adalah mengisi
perut mereka, karena mereka juga butuh makan; katanya.
Banyak dari mereka yang ikut gerakan
pemuda dan barisan pemenangan ini itu, Padahal mereka belum pasti memilih
pasangan yang mereka “agung-agung” kan itu, mereka juga mahasiswa perantauan,
sama seperti saya. Syukurlah jika ada partai dan kandidat yang mendukung
sejumlah biaya perjalanan ke kampung. Uppps ? hehehehehe
Nah, bagaimana dengan mahasiswa yang
pasif? Mereka adalah mahasiswa yang sangat acuh terhadap isu-isu politik
sendiri. Beberapa dari teman saya mengatakan bahwa akivitas politik itu
merupakan sesuatu yang sia-sia saja bahkan aktifitas politik itu merupakan
ancaman terhadap aspek berbagai kehidupan.
Selain itu kurangnya “perangsang politik” juga melengkapi sifat apatis mereka.
Dan bagaimana pula dengan sikap
Mahasiswa perantauan pada Pemilukada Aceh kali ini? Nah. Beberapa teman saya
mengatakan enggan pulang kampung jika hanya untuk mencoblos saja. Selain
membuang waktu dan biaya untuk melakukan perjalanan ke kampung, mereka juga
dituntut menyelesaikan tugas-tugas kampus mereka. Mereka terpaksa menjadi
“golongan putih” untuk Pemilukada Aceh kali ini.
Selain itu beberapa pikiran lainnya
mengatakan bahwa siapapun yang akan menjadi Gubernur atau Bupati/Walikota nanti belum ada yang mampu menyaingi
kehebatan Sultan Iskandar Muda. Raja yang membawa Aceh menjadi sebuah
peradaban, bahkan sampai saat ini Iskandar Muda sendiri merupakan pahlawan yang
dikagumi.
Sebenarnya sosok pemimpin seperti
apa dibutuhkan masyarakat Aceh? Yang jelas kita butuh yang lebih dan unik dari
sekedar program syariat islam, pendidikan, perdamaian, kesehatan dan
pembangunan desentralisasi yang memang benar-benar menyentuh semua golongan dan
tetap menjaga kearifan lokal Aceh.
Namun, ketika kita telah diberi kesempatan
untuk memilih, apa salahnya jika kita gunakan hak pilih kita demi perubahan
kedepan. Dan tentunya memilih kandidat yang benar-benar menyentuh hati kita,
bukan karena intervensi ataupun intimidasi. Semoga Pemilukada Aceh kali ini
benar-benar menjadi patokan perdamaian yang sesungguhnya dan membawa Aceh lebih
bermartabat.
0 komentar: