Pendidikan Bagi Generasi Aceh dalam Penyelesaian Konflik di Aceh

Oleh Iswandi (Mantan Ketua Umum HIMASIO)
Doc Atjehpost.com
Pendahuluan
Sejarah Aceh telah tercatat melalui goresan tinta perjuagan melawan penjajahan, Aceh mempunyai peradaban tinggi yang dibangun sejak berabad-abad lampau. Masa-masa gemilang dari beberapa kerajaan Islam berdaulat, seperti Kerajaan Samudera Pasai yang kemudian digantikan oleh Kerajaan Aceh Darussalam, dengan pujangga-pujanga besar dan pelabuhan-pelabuhan dagangnya yang tersohor di Selat Malaka telah tersimpan dalam lembar, Jalur strategis perdagangan dunia.
            Karena potensi inilah bagi Negara-negara Kapitalis, Aceh menjadi incaran daerah jajahan demi memperebutkan dan menguasai segala potensi alam yang ada. Melihat Aceh hari ini berarti jangan lupa masa yang sudah didahului tanggal 26 Maret 1873, ketika Belanda pertama kalinya menyatakan perang kepada Aceh di Kapal Perang Citadel van Antwerpen. Sejak saat itu Aceh tidak pernah bisa tentram dalam rumah sendiri karena konflik dan perang yang berkepanjangan dengan Belanda. Bahkan periode 1876-1896 merupakan Perang Aceh dengan Belanda terlama yang berlangsung dalam sejarah kolonial.
            Kutaradja, pusat pemerintahan Kesultanan Aceh, berhasil diduduki belanda. Tengku M. Daudsyah, sultan Aceh terakhir, mengirimkan surat tertanggal 14 januari 1903 kepada Gubernur Jenderal Van Heutsz, yang berisi pernyataan kesetiaan kepada pemerintah kolonial Belanda. Setelah sultan ditawan pada tahun 1904 dan dibuang ke pulau Jawa, Belanda melaksanakan pemerintahan sipil di Aceh dibawah pimpinan seorang residen. “Orang Aceh dapat dibunuh, tapi tak bisa ditaklukan”, kata Van Der Vier dalam bukunya Atjeh Orloog (perang Aceh).
I.1. Sejarah Konflik di Aceh.
            Secara geografis Aceh berada pada posisi paling barat Nusantara Republik
Indonesia, yang secara geografis berada pada 2º-6º Lintang utara dan 95º-98º Bujur timur, dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Sebelah utara dan timur berbatasan dengan selat malaka, sebelah selatan Provinsi Sumatera Utara dan sebelah barat dengan Samudera Indonesia. Dalam wilayahnya Provinsi ini mempunyai 17 Kabupaten dan 4 kota.
            Dengan potensi Sumber Daya Alam yang sangat berlimpah diantaranya Gas bumi, Tambang Emas, Batubara, timah, beji besi dan sebagainya. Penyebab utama konflik Aceh yang berlangsung hampir setengah abad lamanya mempunyai akar sejarah yang panjang yang merupakan akumulasi ketidakadilan dalam bidang politik, sosial-agama, eknomi dan HAM.
Di era Sukarno, Aceh sebagai "daerah modal" kemerdekaan mengalami kekecewaan melalui "degradasi politik" dimana terjadi penurunan status propinsi Aceh. Setelah itu janji perdamaian dengan keistimewaan dalam agama dan pendidikan tidak pula dilaksanakan. Pada era Suharto Aceh telah berperan sebagai "daerah modal" pembangunan.
            Konflik Aceh mendapat dimensi baru dengan adanya minyak dan gas pada tahun 1970an dimana pusat memperoleh keuntungan yang sangat besar dibandingkan dengan bagian Aceh (kurang dari 5%). Kesan "Air Susu dibaLas Air Tuba" pernah dikemukakan sebagai perlakuan pusat pada Aceh.
I.2. Catatan Peristiwa Konflik di Aceh.
            Pada masa kemerdekaan, ketika pemerintahan Soekarno-Hatta baru berumur sebulan, yaitu pada tanggal 15 September 1945, untuk pertamakalinya pertikaian Aceh dengan Indonesia terjadi yaitu pada saat Teuku Muhammad Daud Cumbok, putra Ulee Balang menentang kemerdekaan RI di Aceh. Yang kemudian dikenal dengan “Peristiwa Cumbok”. Sejak saat itulah dikotomi Indonesia-Aceh mulai menguat melalui beberapa peristiwa penting seperti yang tercantum secara kronologis sebagai berikut ini :
o 15 September 1945, Teuku Muhammad Daud Cumbok, putra Ulee baling Desa Cumbok menentang kemerdekaan RI di Aceh. Kejadian ini dikenal dengan “Peristiwa Cumbok”.
o 16 Juni 1948, Presiden Soekarno di Hotel Atjeh di Banda Aceh bersumpah atas nama Allah di depan Daud Beureueh untuk memberikan hak-hak rakyat Aceh dan menyusun rumah tangga sesuai Syariat Islam.
o 1949, Daud Beureueh mengalang pengumpulan dana dari rakyat untuk membiayai pemerintah RI. Dalam dua hari terkumpul 500.000 dolar Amerika yang disalurkan 250.000 kepada angkatan perang, 50.000 untuk perkantoran, 100.000 untuk pengembalian pemerintah dari Yogyakarta ke Jakarta dan 1.000 kepada pemerintah pusat melalui AA Maramis. Aceh mengumpulkan 5 kg emas untuk membeli obligasi  pemerintah membiayai Perwakilan RI di Singapura, pendirian Kedutaan Besar RI di India dan pembelian dua pesawat terbang untuk transportasi pejabat RI.
o 1948-1949, Sekitar 3.000 warga Aceh ikut perang "Medan Area" untuk mempertahankan Indonesia dari Belanda.
o 23 Januari 1951, Perdana Menteri M Natsir membacakan surat peleburan Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara di RRI Banda Aceh.
o 21 September 1953, Daud Bereueh memproklamirkan Darul Islam setelah kongres ulama di Titeue Pidie.
o 26 Februari dan Maret 1954, Prajurit dari Batalyon 142 dari Sumatera Barat menembak paling kurang 99 warga sipil di Kampung Pulot dan Cot Jeumpa Aceh Besar.
o 23 September 1955, Daud Beureuh diangkat sebagai Kepala Negara dan Wali Negara Aceh dalam Kongres Rakyat Aceh atau Kongres Batee Krueng.
o 27 September 1955, Indonesia mengirimkan pasukan dengan sandi Operasi 19 Agustus ke Aceh.
o 27 Januari 1957, Menteri Dalam Negeri Sunaryo melantik Ali Hasjmy sebagai gubernur Aceh dan Letnan Kolonel Sjamaun Gaharu sebagai Panglima Komando Daerah Militer Aceh.
o 8 April 1957, Perjanjian Ikrar Lamteh sebagai bentuk gencatan antara Darul Islam dengan Indonesia. Isi Ikrar Lamteh : Kami putera-putera Aceh, di pihak mana pun berada akan berjuang sungguh-sungguh untuk menjunjung tinggi kehormatan Islam, menjunjung tinggi kehormatan dan kepentingan rakjat Aceh.
o 15 Februari 1958, Daud Beureueh bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta serta memutus hubungan dengan Kartosoewirjo. PRRI, Permesta dan DI/TII di Aceh mengadakan operasi bersama menumpas orang Soekarno dengan sandi Operasi Sabang-Merauke.
o 16 Mei 1959, Provinsi Daerah Istimewa Aceh berdiri, Wakil Perdana Menteri RI Mr. Hardi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1/Missi/1959, isinya memberikan otonomi bidang pendidikan, agama dan adat istiadat.
o 15 Desember 1961, Daud Beureueh memproklamirkan Republik Islam Aceh di Aceh Utara.
o 9 Mei 1962, Daud Beureueh beserta pasukan setia yang dipimpin oleh Teungku Ilyas Leube turun dari gunung di Langkahan Aceh Timur dan menghentikan perang.
o 22 Desember 1962, Rekonsiliasi dalam Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) yang melahirkan Ikrar Blang Padang. Setelah masa pemerintahan Soekarno-Hatta berakhir, dan rezim Orde Baru berkuasa persoalan Aceh masih terus membayangi pemerintahan Soeharto ini.

            Bahkan tindakan represif yang diberlakukan di tanah rencong ini makin nyata melalui beberapa operasi militer yang digelar di Aceh. Awalnya pada tahun 1972 Daud Beureueh mengumpulkan kekuatan DI/TII untuk menggalang perlawanan pemerintah pusat dan mengutus Zainal Abidin (Menteri Dalam Negeri Pemerintah Islam Negara Aceh) menjemput kakaknya Hasan Tiro di Kolumbia Amerika. Dan pada Sabtu pagi tanggal 4 Desember 1976, Hasan Tiro Mendeklarasikan Aceh Merdeka (AM) di Gunung Tjokkan. Sejak saat itulah beberapa operasi militer di gelar di Aceh. Dan pada rezim Orde Baru puncaknya adalah ditetapkannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah.
o 1978-1982, ABRI gelar “Operasi Sedar” mencari anggota AM
o 1979, ABRI gelar “Operasi Jeumpa” mencari anggota AM
o 1982-1989, ABRI gelar “Operasi Siwah” mencari anggota AM
o 1986, 42 anggota Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) angkatan I mengikuti latihan militer di Kamp Tazura Libya
o 11 Maret 1987, Hasan Tiro menjadi warga negara Swedia dengan nomor induk kependudukan (NIK) 250925-7016
o Mei 1989, Aceh ditetapkan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dengan sandi Operasi Jaring Merah
o Agustus 1993, Draf resolusi persoalan Timor Leste, Aceh dan dan Papua Barat dibahas di Markas PBB Jenewa. Pertama kali, Hasan Tiro dan Yusuf Daud ke Jenewa membicarakan masalah-masalah Aceh dalam sidangsidang HAM
o 14 Oktober 1996, Rektor Unsyiah Dayan Dawood mengusulkan agar predikat daerah rawan Aceh dicabut karena merugikan secara ekonomi
o 29 Desember 1996, Kepala Kepolisian Daerah Aceh Kolonel Suwahyu menilai Aceh sudah cukup aman dan operasi militer sebaiknya diganti dengan operasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Dua pekan kemudian, dia diganti.

I.3. Warisan konflik
            Konflik yang terjadi di Aceh selama kurun waktu 30 tahun merupakan salah satu konflik berdarah yang berlangsung dalam interval waktu yang relatif lama. Bahkan bila diruntut lebih jauh, Aceh dicabik-cabik oleh konflik dan peperangan selama lebih dari 125 tahun yang dimulai dari gerakan perlawanan rakyat Aceh terhadap Kolonial Belanda pada awal tahun 1870-an hingga periode awal abad ke-20. Periode kekerasan berlanjut pada perang kemerdekaan RI, perlawanan Tengku Muhammad Daud Beureueh pada periode pemerintahan Soekarno hingga proklamasi Gerakan Aceh Merdeka oleh cucu Pahlawan Nasional Tgk. Cik Di Tiro, yaitu Hasan Tiro pada tanggal 4 Desember 1976, sekaligus menandai klimaks kekecewaan atas Jakarta di bawah administrasi Soeharto. Dengan demikian Aceh terlibat dalam konflik anak negeri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1976 hingga ditandatanganinya MoU Damai antara Pemerintah RI dan GAM 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. 

II. Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik
Dalam studi sosiologi, istilah konflik dan kekerasan dibedakan maknanya secara tajam. Konflik adalah perbedaan yang muncul dari dalam diri seseorang, antara dua orang, antar kelompok dan negara. Konflik pribadi (internal), jika individu tidak mampu menyelaraskan antarberbagai kebutuhan dan keinginan yang ada dalam dirinya. Sedangkan konflik antarindividu dan kelompok terjadi karena manusia hidup memiliki keberagaman yang melahirkan kebutuhan, keinginan dan kepentingan bervariasi. Sama halnya konflik antarnegara muncul karena setiap negara memiliki kebutuhan, kepentingan ideologi dan kebijakan berbeda (Mial, 200 : 19).
Kekerasan merupakan akibat negatif dari konflik. Istilah negatif dalam konteks ini penting, karena konflik dapat berimplikasi positif jika individu atau kelompok dapat menyikapi dan mengelola konflik yang muncul, sehingga melahirkan kreativitas dan kompromi. Dengan kata lain, kekerasan adalah bentuk penyikapan konflik yang salah, karena satu pihak memaksa kehendak kepada pihak lain atau para pihak kehilangan kontrol dan mengalami
kebuntuan.
Akibatnya berimplikasi pada pertikaian, permusuhan, pembunuhan dan bahkan peperangan. Semua ini bersifat destruktif bagi para pihak. Dari konsep teoretis ini terlihat bahwa konflik pada dasarnya bersifat netral. Ia berimplikasi positif dan dapat pula berimplikasi negatif (Simon, 2001 : 78). Oleh karena itu, dalam teori resolusi konflik dijelaskan bahwa konflik bisa diselesaikan, jika seseorang dapat mengidentifikasi isu yang menjadi persoalan, tuntutan, atau perebutan dalam suatu konflik. Hasil riset Faountain menemukan paling tidak ada tiga isu utama yang menjadi perebutan dalam suatu konflik yaitu sumberdaya, perasaan dan nilai (Faountain,1997:31).
Sumberdaya adalah segala sesuatu yang diperselisihkan untuk dimiliki atau diakses oleh para pihak seperti makanan, air, minyak, uang, peralatan, fasilitas, tanah dan sebagainya. Perasaan merupakan persyaratan atau kebutuhan yang mesti dimiliki oleh setiap manusia seperti rasa cinta, perhatian, pengawasan dan dukungan, identitas, kontrol dan penghargaan. Nilai merupakan keyakinan, prinsip atau alasan ideal yang berakar dari agama, budaya, tradisi, afiliasi politik atau sosial maupun pendirian pribadi. Di samping itu terdapat pula klasifikasi faktor pemicu konflik di antaranya faktor kultural, struktural, institusional, ekonomi dan faktor pendidikan.
Pemahaman yang mendalam terhadap isu atau faktor penyebab konflik akan sangat penting bagi upaya penyelesaian konflik melalui negosiasi, fasilitasi, mediasi maupun arbitrasi. Negosiasi adalah suatu strategi di mana para pihak yang berkonflik setuju untuk menyelesaikan
suatu persoalan mereka melalui proses urun rembug atau perundingan. Proses ini tidak melibatkan pihak ketiga, karena para pihak atau wakilnya berinisiatif untuk menyelesaikan konflik mereka dan terlibat langsung dalam dialog dan prosesnya.
Meskipun demikian, ketika konfrontasi dan kekerasan meningkat yang mengakibatkan para pihak sulit untuk bernegosiasi secara langsung, fasilitator dan negosiator dapat berperan untuk memperlancar proses negosasi mereka. Fasilitasi adalah suatu ketrampilan dalam proses penyelesaian konflik, di mana fasilitator berusaha melakukan komunikasi dengan pihak yang berkonflik dalam upaya membangun dialog untuk menjembatani perbedaan mereka.
Dalam hal ini pertemuan atau dialog tercipta karena berbagai komunikasi, persiapan dan aktivitas yang dibangun sebelumnya, sehingga para pihak mempercayai proses yang ditawarkan. Tujuan utama fasilitasi adalah untuk mewujudkan kesepahaman bersama, sehingga mendorong mereka untuk mencapai kesepakatan dalam mengakhiri konflik.
II.1. Dampak Konflik Bagi Pendidikan Anak-Anak.
Konflik Aceh yang berkepanjangan telah menghancurkan seluruh sendi kehidupan masyarakat Aceh termasuk segi pendidikan bagi generasi penerus. Puluhan ribu menjadi korban kekerasan, hancurnya dunia pendidikan, hilangnya kesempatan kerja, aktivitas ekonomi rakyat tidak berjalan dan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Konflik juga telah menimbulkan trauma, beban psikis dan luka sosial yang cukup dalam bagi masyarakat Aceh.
Dampak konflik ini tentu membawa kerugian besar bagi kehidupan anak-anak bangsa Indonesia. Oleh karena itu, upaya penyelesaian konflik Aceh telah mulai dirintis sejak Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati dan dilanjutkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, (SBY-JK).
"Undang-Undang Darurat telah mempengaruhi ekonomi komunitas-komunitas di akar rumput. Secara umum, penduduk tinggal di wilayah pedesaan. Sebagian besar dari mereka adalah petani dan nelayan. Dengan meningkatnya operasi-operasi militer, maka aktivitas-aktivitas umum di pedesaan menjadi semakin sulit dilakukan ..." (Kontras Aceh, 4/Jul/04)
Dalam kehidupan masyarakat Aceh pola resolusi konflik ini sudah lama dipraktikkan dan dilestarikan, yang diwujudkan dalam institusi adat dan agama seperti di’iet, sayam dan suloh.
II.2. Perdamaian
Faktor mempercepat perdamaian di Aceh. Puncaknya adalah ditandatanganinya Nota Kesepahaman (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki Finlandia dengan mediator Mr. Martti Ahtisaari, dalam kapasitas sebagai Chairman, Crisis Management Initiative (CMI). Tidak dapat disangkal bahwa kunjungan JK ke Helsinki untuk bertemu dengan Mr. Martti Ahtisaari dan beberapa tokoh GAM Swedia seperti Zaini Abdullah, Malik Mahmud al Haytar dan Bachtiar Juli menjadi perlambang kerendahan hati seorang pemimpin nasional Indonesia dalam upaya mengakhiri konflik di Tanah Rencong secara komprehensif pascapenandatanganan kesepahaman damai.
Penyelesaian konflik secara damai melalui dialog di Helsinki adalah amanah rakyat dan pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan kebijakan pemerintah yang seutuhnya diputuskan dalam sidang kabinet. Adapun tujuan akhir pertemuan informal Helsinki ini adalah, penyelesaian masalah Aceh secara damai, adil, menyeluruh dan bermartabat dalam bingkai NKRI dan berdasarkan UUD 1945. ]
Nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM adalah rumusan solusi kompromistik kedua pihak yang harus dicermati dan dipahami secara utuh dan holistik. Nota kesepahaman yang ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, tidak hanya disambut gembira dan rasa syukur oleh rakyat Aceh, tetapi semua orang melambungkan harapan yang begitu tinggi pada perjanjian damai tersebut dan menjadi fajar perdamaian abadi di Tanah Rencong, yang selama tiga dekade terakhir dibalut konflik yang mengalirkan darah dan air mata anak-anak negeri.
Mediasi adalah proses penyelesaian konflik di mana para pihak yang berkonflik mengizinkan pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka, mecari solusi dan pihak ketiga ini disebut mediator. Sedangkan arbitrasi (tahkim) merupakan suatu strategi dalam resolusi konflik di mana para pihak meminta pihak netral baik seseorang atau institusi yang ahli atau berpengalaman di bidnag itu, untuk membuat keputusan dalam mendamaikan para pihak yang berkonflik. Arbitrasi umumnya dilakukan ketika para pihak tidak mampu menyelesaikan persoalan mereka, dan karena itu mereka bersepakat membolehkan pihak ketiga bertindak sebagai arbitrator.
II.3. Posisi Rakyat selama konflik di Aceh
Selama terjadinya konflik dalam kurun waktu 30 tahun telah menempatkan rakyat Aceh pada posisi yang tragis dan marginal dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan telah pudarnya nilai-nilai sosial dan adat yang selama ini melekat dalam kehidupan
masyarakat Aceh. Konflik berkepanjangan telah menimbulkan luka sosial dan dendam di antara sesama anak negeri, sehingga telah menjerumuskan Aceh dalam kondisi yang cukup menyedihkan. Konflik seperti ini telah menyebabkan hilangnya harkat dan martabat masyarakat Aceh yang religius, masyarakat yang santun dan mulia. Mencermati realitas konflik yang dialami rakyat Aceh yang cukup panjang dan melelahkan, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berusaha menjaga dan mengamankan butir-butir perdamaian yang tertuang dalam MoU Helsinki. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berusaha mewujudkan perdamaian melalui model resolusi konflik yang ditawarkan berikut ini :
o Penyelesaian konflik Aceh ditempatkan dalam kerangka agama dan adat. Hal ini menjadi penting mengingat masyarakat Aceh adalah masyarakat yang terikat dan kental dengan nilai-nilai agama dan adat. Bentuk keterikatan kepada syariat Islam dan norma adat tercermin dalam adagium “Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Laksamana”. Melalui pendekatan adat dan agama akan menghapuskan perasaan dendam dan luka sosial yang ditimbulkan oleh konflik. Pendekatan keagamaan dalam penyelesaian konflik akan menempatkan manusia pada kearifan, kerendahan hati, saling memaafkan, dan berusaha untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Perangkat-perangkat ini semua, merupakan ajaran syariat Islam.
o Kesempatan pendidikan dan kesehatan. Pemerintah Provinsi NAD akan meningkatkan mutu pendidikan dan pelayanan kesehatan yang baik bagi seluruh masyarakat Aceh. Implementasi amanat Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dalam aspek ini menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan demi terwujudnya masyarakat Aceh yang berkualitas baik dalam bidang pendidikan maupun bidang kesehatan.

2 komentar: