Punker Juga Manusia
Oleh : Fahmi Maulana Akbar '11Ilustrasi gambar antarafoto.com |
Curhatan seorang punker :
Kami hidup di alam kami, kami tidak menggangu kalian, dan kami hidup juga tidak meminta bantuan kalian, kami makan dengan cara kami, lalu mengapa kalian memusuhi dan menghina kami, seolah-olah kami anjing kurap yang harus dibasmi.Itulah sedikit curahan hati anak punk yang saya kutip dari sebuah blog. Saat mendengar kata “anak punk” apa yang ada di benak kita? Mereka gelandangan? Mereka penjahat, perampok, atau pencuri? Itulah persepsi sebagian masyarakat dalam mendefinisikan anak punk. Sebenarnya itu salah, mereka sama seperti kita, cuma cara hidup mereka saja yang berbeda. Anak punk, merupakan sebuah indentitas anak-anak muda yang ingin diperhatikan, ingin diakui dan mendapat “tempat” dihati masyarakat. Kehidupan mereka, tidur tak ber-alaskan langit, dan singgah dimanapun tempat yang dapat disinggahi untuk dapat berteduh dari teriknya matahari, derasnya air hujan dan tidak sedikit mereka mencari tempat untuk berlindung dari kejaran masyarakat. Di Aceh, anak punk sudah lumayan banyak, mereka biasa sering berkumpul di Taman Sari maupun Blang Padang. Diantara mereka ada yang mengamen untuk menghidupi kelompoknya. “Dari pada mencuri, lalu ditangkap polisi, mending kami ngamen walau terkadang orang berlari melihat kami,” kata salah seorang anak punk.
Memang, harus diakui, imej anak punk yang selama ini dianggap sebagai anak berandal, beringas, kotor, penjahat jalanan hingga anak-anak buangan masih susah terkikis dari pikiran masyarakat kita. Walau ada pemberitaan tentang pembunuhan, pencurian dan kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak punk, sebenarnya, apa yang mereka lakukan sangatlah kecil persentasenya bila dibandingkan kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat umum. Mau bukti, coba cek pemberitaan di media massa, setiap harinya ada pembunuhan, pemerkosaan, pencuriaan hingga kejahatan sadis lainnya. Tapi, dari semua pemberitaan itu, berapa persenkah kejahatan-kejahatan itu dilakukan oleh anak-anak punk.
Di Aceh, Kehadiran anak-anak punk dianggap sebagai perusak Aceh dan dibayar untuk merusak syariat Islam di Aceh. Sekarang, mari kita tanya hati kita, sejauh mana mereka mengganggu kita, sejauh mana mereka menyusahkan kita, justru kitalah biang perusak kehidupan mereka. Di Aceh, bahkan anak-anak punk pun ditangkap dan digunduli. Mereka di bina oleh kepolisian. Saat di tangkap oleh Satpol PP dan WH, tak sedikit dari mereka yang menerima kekerasan, ada yang di keroyok bahkan dipukuli, seperti yang saya kutip dari harian-aceh.com “Banda Aceh | Harian Aceh – Personel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Wilayatul Hisbah (WH) mengeroyok seorang anak punk yang tertangkap saat razia gabungan di beberapa lokasi di Banda Aceh, Kamis (28/7) dini hari.” Anak punk tersebut di keroyok karena dituding hendak melawan petugas dan berusaha melarikan diri. Banyak dari masyarakat yang mengecam aksi petugas saat menyaksikan penangkapan anak punk. Salah satu masyarakat berkata,”Janganlah dipukul terus. Bukan seperti itu cara menghadapi anak-anak tersebut, jika seperti ini penertibannya kapan mereka mau berubah. Mereka malah akan semakin membenci Satpol PP dan WH.”
Sebenarnya, komunitas punk di Aceh, khususnya Banda Aceh, telah mendapat sorotan tajam dari masyarakat Banda Aceh. Pada Februari 2011 lalu, Satpol PP dan WH menangkap sejumlah anak punk karena dituding meresahkan masyarakat dan melanggar syariat. Namun tudingan itu disanggah oleh punker. Seperti yang saya kutip dari Harian Aceh “Kami, anak punk, tidak melakukan perbuatan yang melanggar syariat," kata Robet, seorang punker di Banda Aceh, pada diskusi bertajuk Punk: Budaya Tandingan atau Meresahkan di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Selasa (1/3). Anak punk mengakui kalau kehidupan mereka sangat bebas, tapi mereka memiliki batas. Robet menyayangkan sikap Satpol PP dan WH yang menguber-uber mereka layaknya pelaku kriminal dan pelanggar syariat kelas kakap. Selama ini, sebut Robet, mereka hanya berusaha membentuk komunitas sendiri.
Saleh Syafei, sosiolog Unsyiah, menyebutkan bahwa kehadiran anak punk di tengah-tengah masyarakat Aceh tidak meresahkan, mereka tidak melakukan pelanggaran. Karena itu, Saleh menilai langkah penangkapan yang dilakukan Satpol PP menyalahi aturan, terutama pasal 18 ayat (1) dan pasal 19 ayat (2) KUHP tentang penangkapan dan pasal 16 ayat 3 UU No.23/2002 tentang perlindungan anak. "Kalau Satpol PP mau menangkap, tangkaplah pelaku korupsi yang ada di Aceh yang itu sudah terbukti melanggar hukum," tandasnya
Kesimpulannya tidak semua anak punk seperti yang kita pikirkan. Tidak sedikit dari mereka juga menjalankan shalat lima waktu, menjalankan puasa ramadhan, dan pastinya anak punk tidak korupsi. Harusnya kita sebagai smasyarakat membina mereka dengan berbagai kegiatan. Membina mereka dengan aktifitas yang lebih bermanfaat. Bukan harus ditangkap dan digunduli. Seolah-olah mereka adalah penjahat yang harus dihabisi. Bisa jadi, kita, masyarakat yang menuduh mereka anak-anak “rusak” justru lebih rusak dari anak-anak punk itu sendiri. Bahkan, para penangkap anak-anak punk itu, belum tentu mereka melaksanakan shalat lima waktu. Dan belum tentu tidak melakukan korupsi di kantornya.
(Sumber : www.marthaandival.wordpress.com www.atjehpost.com www.harian-aceh.com.)
0 komentar: